Kamis, 08 November 2012

Ketidak Harmonisan ANTAR UMAT BERAGAMA



          Terdapat delapan faktor utama penyebab timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama ditilik dari dampak kegiatan keagamaan antara lain :


1.       Pendirian Tempat Ibadah. Tempat ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan umat beragama setempat sering menciptakan ketidak-harmonisan umat beragama yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama.

2.       Penyiaran Agama. Penyiaran agama, baik secara lisan, melalui media cetak seperti brosur, pamflet, selebaran dsb, maupun media elektronika, serta media yang lain dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih yang ditujukan kepada orang yang telah memeluk agama lain.

3.       Bantuan Luar Negeri. Bantuan dari Luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik yang berupa bantuan materiil / finansial ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, bila tidak mengikuti peraturan yang ada, dapat menimbulkan ketidak-harmonisan dalam kerukunan hidup umat beragama, baik intern umat beragama yang dibantu, maupun antar umat beragama.


4.       Perkawinan beda Agama. Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, walaupun pada mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga, sering mengganggu keharmonisan dan mengganggu kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih apabila sampai kepada akibat hukum dari perkawinan tersebut, atau terhadap harta benda perkawinan, warisan, dsb.

5.       Perayaan Hari Besarkeagamaan. Penyelenggaraan perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang mempertimbangkan kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut diselenggarakan dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.

6.       Penodaan Agama. Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai agama dan keyakinan suatu agama tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.

7.       Kegiatan Aliran Sempalan. Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang
didasarkan pada keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang dari ajaran agama yang bersangkutan dapat menimbulkan keresahan terhadap kehidupan beragama, sehingga dapat pula menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup beragama.

8.       Aspek Non Agama yang mempengaruhi. Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan hidup umat beragama antara lain : kepadatan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi, pelaksanaan pendidikan, penyusupan ideologi dan politik berhaluan keras yang berskala regional maupun internasional, yang masuk ke Indonesia melalui kegiatan keagamaan.

          Di tingkat budaya hukum masih terdapat isu-isu yang cenderung provokatif yang terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sementara itu, sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan kriteria keyakinan agamnya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan antipati antar kelompok agama.
          Pemberitaan pers kadang juga dipandang oleh sebagian masyarakat masih mengeksploitasi permasalahan antar kelompok tanpa mempertimbangankan dampak yang ditimbulkannya pada segi-segi keamanan dan keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat.
          Kebijakan Pemerintah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat kurang mencerminkan keadilan dan lemahnya penegakan hukum berpotensi terhadap timbulnya ketidak harmonisan hubungan antar kelompok sosial dan umat beragama, maupun hubungan antar umat beragama dengan pemerintah. Ketidak adilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, hukum dan politik sering menimbulkan dan mempermudah elemen luar masuk sehingga dapat memicu terjadinya konflik antar kelompok dalam masyarakat. Perebutan lahan antar pendatang dan penduduk yang menetap lebih dulu merupakan potensi yang dapat berkembang menjadi marjinalisasi kelompok-kelompok sosial yang dan kemudian dapat berpotensi menjadi konflik antar kelompok-kelompok sosial yang mungkin saja kebetulan juga mewakili kelompok-kelompok keagamaan. Otonomi daerah menimbulkan wajah ganda; di satu sisi sangat bermanfaat bagi warga setempat dalam upaya mengembangkan diri, namun di sisi lain juga berpeluang bagi tumbuhnya sikap primordialisme dan ketertutupan.
          Kurangnya komunikasi antar tokoh/ pemuka agama, dipandang dapat berpengaruh terhadap ketidak harmonisan hubungan antar kelompok masyarakat dan kurang dapat berfungsinya peran antisipasi pencegahan kesalahpahaman antar kelompok, terutama di tingkat kecamatan dan pedesaan. Persoalan pendirian rumah ibadah yang kurang memenuhi prosedur, penyiaran agama, dan aliran-aliran sempalan di lingkungan internal kelompok agama masih dirasakan sebagian masyarakat sebagai gangguan dalam membangun hubungan umat yang harmonis.
          Budaya kekerasan dengan dalih agama kerap kali muncul karena implementasi doktrin agama secara tidak proporsional. Sementara itu masih sering muncul isu-isu yang kurang berdasar, seperti isu Islamisasi atau isu Kristenisasi. Isu-isu seperti ini terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan kriteria keyakinan agamanya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan antipati antar kelompok agama.
          Secara kultural masyarakat kadang masing belum menerima jika pendirian rumah ibadah memerlukan pengaturan oleh pemerintah dalam rangka fungsi ketertiban. Banyak orang beranggapan bahwa pendirian rumah ibadah tidak perlu diatur oleh pemerintah, karena sejak nenek moyang membuat rumah ibadah tidak perlu ijin dari siapapun. Padahal, Peraturan Bersama 2006, khususnya tentang pendirian rumah ibadah tidak dimaksudkan membatasi ibadah. Harus dibedakan antara mengatur pendirian rumah ibadah dan membatasi kebebasan beribadah. Semangat peraturan tersebut adalah menertibkan pendirian rumah ibadah dan menghindari konflik horizontal antar pemeluk agama.

10 Januari 2011

Kerukunan Umat Beragama Di T.Tinggi; “Jangan Ada Dusta Di Antara Kita”



           Gesekan antar pemeluk beragama muncul dalam intesitas yang cukup mengkhawatirkan, meski dalam perspektif harmoni sosial, pola interaksi sesama tetap terjaga. Namun, mulai dirasakan munculnya ketidak puasan antar satu pemeluk dengan pemeluk lain, meski dalam skala terbatas.
          Beberapa tokoh umat beragama, merasakan hal itu. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Tebingtinggi Abu Hasyim Siregar, SH, Rabu (29/12), menegaskan dalam interaksi antar pemeluk agama, misalnya pergaulan dan keakraban antar satu dengan lainnya, hingga saat ini tak terdapat gejala-gejala gangguan. “Kalau tata pergaulan, berjalan baik dan tak ada masalah,” ujar Hasyim.
          Namun diakui, problema paling mengganggu kerukunan umat beragama satu tahun belakangan, adalah pembangunan gereja yang tak mengikuti ketentuan Peraturan Bersama 2 Menteri No.9 dan 8 Tahun 2006. Bahkan, pembangunan gereja, cenderung manipulatif dan mendorong ketidak harmonisan di lingkungan. FKUB, kata Hasyim, mencatat tiga kasus pendirian gereja berpotensi merusak kerukunan umat beragama selama 2010.
          Ketiga pembangunan dan penggunaan bangunan untuk gereja yang tidak mengikuti ketentuan, yakni pembangunan gereja di Jalan Sutoyo S, link.01, Kel. Rambung, Kec. T.Tinggi Kota. Penggunaan ruko sebagai gereja di komplek perumahan Tebing Indah Permai, Kel. Bandar Utama, Kec. T.Tinggi Kota dan penggunaan ruko sebagai tempat ibadah di Perumahan Deli Indah, Link.02, Kel. Durian, Kec. Bajenis. Ketiga gereja itu, keberadaannya menimbulkan reaksi dan keresahan masyarakat di sekitar lokasi. “Yang penting jangan ada dusta di antara kita,” tegas Hasyim.
          Hal yang juga sering menimbulkan “rasa tidak enak” aku Hasyim yang juga Ketua PD Muhammadiyah itu, adalah di saat datangnya hari Natal. Dalam suasana itu, ada kegelisahan yang muncul di kalangan elit umat beragama, khususnya Islam. Asumsi yang melekat, acara yang digelar secara massal dan terus menerus mengundang pejabat-pejabat Muslim, adalah upaya untuk merusak aqidah umat Islam.
          Ada kekhawatiran, kehadiran pejabat Muslim dalam acara Natalan, akan berdampak pada perubahan pola pandang masyarakat Muslim awam, atas perayaan Natal. “Bagaimana jika muncul asumsi, pejabat dan tokoh masyarakat saja datang, berarti bolehlah,” cetus Hasyim. Padahal, sudah ada fatwa MUI menghadiri perayaan Natal hukumnya haram. Dalam konteks demikian, meskinya perayaan Natal tidak harus mengundang pejabat-pejabat Muslim. “Itu lebih menenangkan,” kata Hasyim sambil mengutip semboyan FKUB, “Aqidah terjamin, toleransi terjalin.”
          Sementara tokoh umat Kristen Kota Tebingtinggi Drs. Eliyas Tarigan, mengakui dalam tata hubungan pergaulan antar umat beragama berlangsung harmonis. “Saya rasakan semua berlangsung penuh keakraban dan saling menghargai,” ujar tokoh Kristen GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) itu.

Soal kegelisahan pendirian gereja, Eliyas Tarigan menyebutkan adanya paradok antar aspek legal dan aspek sosial. Dari aspek legal, memang pendirian gereja harus mengikuti ketentuan yang ada. Namun, tak jarang aspek sosial lebih dominan melatar belakangi pendirian gereja. “Kondisi ini memang sulit dipadukan,’ ujar Eliyas Tarigan.
          Ditambahkan, sebenarnya pembangunan gereja tidak perlu dikhawatirkan, mengingat gereja merupakan tempat ibadah yang kegiatannya berkala. Jika dalam praktek ibadah, ada warga sekitar yang terganggu, laporkan saja pada pengurus dan pengurus harus merespon laporan itu, untuk perbaikan. Misalnya, pada gereja yang menggunakan musik, diupayakan agar tak membuat resah warga sekitar. Pada tataran demikian, masing-masing komunitas perlu mendahulukan kebesaran jiwa, tegas Eliyas Tarigan yang juga Kadis Capil dan Kependudukan itu. Eliyas, setuju bahwa kekhawatiran pembangunan gereja di komunitas Muslim, umumnya dipangaruhi aspek ‘rasa’ berlebihan.
          Ada gejala keberagamaan Kristen yang mesti diperhatikan, ungkap Eliyas, terutama pada Kristen Kharimatik. Pola pengembangan agama bersifat stelsel menjadi pangkal perkembangan gereja terus menerus. Misalnya, pada jemaat satu gereja, ada di antara individu yang punya talenta, misalnya pendalaman al kitab yang baik, khutbahnya memikat, kemudian dekat memperhatikan jemaat, dan punya dana cukup, maka sosok demikian berhak memisahkan diri dari jemaat awal dan membentuk jemaat baru. “Kalau sudah membentuk jemaat baru, mereka akan membangun gereja,” cetus pejabat senior Kristen itu.
          Akan halnya perayaan Natal, Eliyas Tarigan, menyebutkan perayaan itu memang diperuntukkan bagi manusia, sehingga siapa saja berhak hadir. Namun, selama ini praktek itu pisahkan antara seremoni dan ibadah guna menghormati pemeluk agama lain. “Jadi pemasangan lilin itu belum masuk ibadat. Ibadat berlangsung ketika pemimpin ibadat masuk dan memulai doa. Di sana ibadat dimulai,” ungkap dia. Sedangkan pemasangan lilin dipandang sebagai simbol saja.

Jaga Akibat

          Terkait pendirian gereja, Kepala Kantor Kementerian Agama Drs.H. Hasful Huznain, SH, di ruang kerjanya, mengatakan harus mengikuti ketentuan yang ada. Substansi dari PBM 2 Menteri, ujar Huznain, untuk menjaga aqidah warga agama lain dari pengaruh agama tertentu. Ketentuan itu sangat adil, artinya jika pada masyarakat mayoritas muslim, hindari pembangunan rumah ibadah non muslim. Sebaliknya jika pada mayoritas non muslim, maka umat Islam jangan membangun masjid. Begitu seterusnya.

“Hal yang dikhawatirkan bukan pada rumah ibadahnya, tapi pada praktek-praktek ibadahnya,” tegas Huznain. Hal utama yang dilindungi PBM 2 Menteri, bukan pada orang dewasa, tapi anak-anak. Pejabat agama yang pernah bertugas di Tapanuli Utara selama 15 tahun itu, menyontohkan bagaimana mudahnya anak-anak Muslim menghafal nyanyian-nyanyian pujian Kristiani, karena terus menerus mendengarnya. “Itu kejadian faktual dan saya alami ketika bertugas,” aku dia. Menghindari hal-hal demikian lah, pendirian rumah ibadah tidak bisa dilakukan sembarang tempat. Kakankemenag juga menggaris bawahi, pendirian rumah ibadah juga lebih aman dilakukan pada areal yang semula belum ada warga pemukim. Namun, seiring waktu ternyata ada warga menetap di sekitar rumah ibadah, hal itu tak bisa jadi alasan menolak. “Faktor utamanya siapa lebih dulu berada di areal itu,” tegas Hasful Huznain.

Huznain juga menilai, perayaan Natal itu jika dihadiri pejabat Muslim sama sekali tidak berpengaruh terhadap mereka. Namun, kekhawatiran memang ada pada umat Islam di level bawah. “Kemarin saya memang ditanya soal itu dan saya jelaskan. Tapi tetap saja asumsinya buruk,” ujar dia. Kekhawatiran itu, diakui Kakankemenag harus terus menerus dikomunikasikan dengan umat, agar timbul saling pemahaman antara pejabat Muslim dan umat Islam.

          Sekretaris MUI kota Tebingtinggi Drs.Khairil Anwar, MSi, sependapat, umumnya kerukunan umat beragama di kota itu berlangsung harmonis, meski ada gesekan kecil terkait pendirian rumah ibadah. “Pada dasarnya harmonis. Kalau pun ada persoalan masih bisa diselesaikan,” ujar Anwar.
          Begitu pun MUI memandang semua umat beragama harus menjadikan ketentuan yang ada sebagai tolok ukur dalam pendirian rumah ibadah. Sikap mempertimbangkan keresahan yang muncul dari warga, meskinya di pandang sebagai warning, bahwa apa yang dilakukan memunculkan masalah. Masalah yang muncul jangan pula dipandang sebelah mata, karena pandangan remeh itu, pangkal dari rusaknya hubungan antar umat beragama, tandas Kabag Humas dan PP itu.

MANIPULATIF : Pembangunan gereja di Jalan Sutoyo S, ditolak masyarakat sekitar. Namun pengurus gereja tetap saja ngotot membangun dengan memanipulasi SIMB. Sikap ini bertolak belakang dengan semangat kerukunan umat beragama. Foto direkam, Rabu (29/12).


Sumber Materi :
  • http://mohjamin.blogspot.com/
  • Dokumen Musyawarah / Dialog Intern dan Antar Umat Beragama, Ulama /Pemimpin



0 komentar:

Posting Komentar